Judul : Kita versus Korupsi(2012) Genre : Drama Pemain: Teuku Rifnu Wikana, Ranggani Puspandya, Nicholas Saputra, Revalina S Temat, Ringgo Agus Rahman, dan Tora Sudiro Penulis cerita: Damas Cendekia, Sinar Ayu Massie, Ine Febriyanti, Gunawan Raharja, Jazzy Mariska Usman, Mohamad Ariansyah Sutradara: Emil Heradi, Lasja F. Susatyo, Ine Febriyanti, Chairun Nissa
Plot: Sebuah omnibus yang berisi 4 cerita yang berbeda waktu dan tempat, tetapi memiliki satu kesamaan: korupsi. Ada seorang kepala desa yang menjual desanya kepada seorang konglomerat untuk dijadikan real estate, sepasang kekasih yang ingin menikah diam-diam, sebuah keluarga sederhana yang anaknya sedang sakit keras serta sekelompok siswi yang bercengkrama tentang apa yang terjadi di sekolah mereka.
Review: Tidak tahu apakah film omnibus memang lebih mudah diproduksi atau para produser dan pengrajin film Indonesia sedang ikut latah dan mengikuti trend, yang pasti belakangan ini saya sering melihat film tipe omnibus dibuat oleh sineas lokal. Omnibus adalah sebuah film yang tergabung dari beberapa segmen pendek berbeda-beda entah dari karakter, setting, jaman atau pun tempat dan biasanya pula memiliki satu benang merah yang menghubungkan semuanya. Begitu lah film Kita versus Korupsi (KvK) ini. KvK sendiri adalah film yang diproduksi oleh lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (yang lebih kita kenal dengan KPK) yang juga bekerja sama dengan Transparency International Indonesia Anti Corruption Information Centre (ACIC). Mungkin karena memang bukanlah film yang dibuat untuk mencari untung dan karena minim dana, KvK tidak ditayangkan secara publik di jaringan bioskop Indonesia, melainkan melalu festival-festival film yang beruntung disanggah oleh tim produksi film ini. Mungkin pula, akibat permintaan dari konsumen yang tertarik cukup banyak (termasuk saya), KvK pun dirilis dalam bentuk DVD (yang juga seadanya). Pun begitu, KvK mampu memberikan film pendek dari nama-nama yang cukup dikenal dari Ine Febriyanti (lebih saya kenal sebagai aktris) hingga Lasja F. Susanto (sutradara Langit Biru). Pemain-pemainnya pun sepertinya sudah begitu dikenal di masyarakat awam; ada Revalina S. Temat, Nicholas Saputra, Tora Sudiro, Ringgo Agus Rahman, among others.
Cerita pertama adalah cerita mengenai seorang kepala desa yang lalai akan tugas dan janjinya ketika ia kampanye dulu. Cerita yang diberi judul 'Rumah Perkara' ini disutradarai oleh Emil Heradi.Yatna (Teuku Rifnu Wikana) adalah seorang lurah yang menjual tanah di desanya kepada seorang pengusaha untuk dijadikan sebuah real estate. Tetapi masih ada satu rumah milik seorang janda yang bersikeras mempertahankan rumahnya. Segmen pembuka ini sebenarnya sudah bagus dalam bercerita. Tetapi yang menjadi masalah bagi saya adalah pemerannya gak ada yang believable menjadi 'orang desa'. Make up nya kok bersih-bersih dan 'kota' banget ya? Mungkin ini juga jadi kekurangan film-film lokal, di jaman apapun, bersetting dimana pun, make-up dan dialognya tetep Jakarta hare genebanget :p Saya suka setting pedesaannya sih. Cerita kedua berjudul 'Aku Padamu' arahan Lasja F Susanto. Dalam segmen ini lah yang paling banyak 'artis'nya. Vano (Nicholas Saputra) ingin menikah dengan Laras(Revalina S. Temat) secara diam-diam di KUA tetapi terhalang akibat tidak adanya Kartu Keluarga. Vano pun memiliki ide untuk memakai calo, yang ternyata tidak disetujui oleh Laras. Laras teringat ketika ia kecil ia memiliki seorang guru (Ringgo Agus Rahman) yang harus berhenti dari pekerjaannya karena tidak ingin membayar 'uang sogokan' kepada kepala sekolah. Walaupun banyak nama terkenal, tetapi bagi saya ini malah yang paling zonk. Akting para aktornya sudah bagus, tetapi konklusi akhirnya datar banget. 'Loh, gini doang?' itu lah yang saya pikir setelah menonton. Tetapi nice touch at the 'calo' person, satir nya dapet banget.
Cerita ketiga berjudul 'Selamat Siang, Risa' yang disutradarai oleh Ine Febriyanti. Bercerita tentang seorang penjaga gudang, Arwoko (Tora Sudiro) yang gudang yang ia jaga ditawari untuk menyembunyikan beras di masa-masa krisis ekonomi (agar sang penimbun beras bisa menjual beras mahal). Arwoko yang memiliki pendirian keras menolak korupsi tiba-tiba ragu karena anaknya yang masih bayi sedang sakit keras. Untuk segmen ini, saya beri applause untukart director-nya karena menurut saya telah cukup sukses memberikan kesan oldies untuk adegan-adegannya (walaupun kebanyakan dalam rumah sih, jadi gak begitu ribet). Sama seperti segmen kedua, film ini tidak begitu memberikan ending yang 'wah', datar banget like nothing really happens. Padahal bagi saya film ini berpotensi menjadi begitu dramatis dan menyentuh, but it didn't reach it. And I didn't know what's the relation between the story and the title either :s Cerita yang terakhir, might be my favorite, berjudul 'Psssttt… Jangan Bilang Siapa-Siapa'dan diarahkan oleh Chairun Nissa. Segmen ini dibuat layaknya dokumenter, dengan seorang siswi yang menangkap teman-temannya ngobrol di kantin dengan handycam. Teman-temannya berbicara mengenai korupsi di sekolah tersebut dengan cara menjual buku paket yang ternyata menentukan nilai para murid. Teman-temannya juga dengan santainya bercerita tentang kebiasaan 'korupsi' di rumahnya layaknya kegiatan yang normal. Segmen ini mungkin yang paling 'hip' dan kena sasaran. Karena apa yang ditampilkan sepertinya dekat banget dengan kehidupan kita sehari-hari. But sorry to say those actresses were really really annoying. Despite of that, segmen terakhir ini bagi saya yang terbaik di antara keempat cerita dalam Kita versus Korupsi.
Overview: Kita versus Korupsi bagi saya adalah salah satu effort yang cukup baik untuk memberikan awareness tentang bahaya korupsi di negeri kita. KvK juga menggambarkan bahwa korupsi sebenarnya sangat dekat dengan lingkungan kita dan sudah menjangkit kemana-mana. Lebih bahaya lagi, korupsi malah sudah kita anggap menjadi hal yang biasa. KvK tidak saja menampilkan korupsi besar seperti pejabat memakai uang negara untuk urusan pribadi, tetapi juga 'korupsi-korupsi kecil' seperti jasa calo atau menyimpan uang kembalian teman yang juga bisa berbahaya jika kita menyepelekannya. Filmnya sendiri masih banyak memiliki kekurangan bagi saya. Mungkin diakibatkan minimnya durasi, jadi beberapa poin yang hendak dimaksud jadi tidak begitu tepat sasaran. Tetapi untuk film Indonesia, film ini jauh lebih layak ditonton dibandingan film-film horror-seks yang masih saja bergentayangan. Nice concept, some good stories, not really great execution. But in the end, it's a film that's worth to be considered. We need more films like this, please...