Film ini berjudul Serdadu Kumbang.
Diarahkan oleh Ari Sihasale, yang lewat rumah produksi yang ia miliki
bersama istrinya Nia Zulkarnaen, Alenia Pictures, pernah memberikan
penonton Indonesia film Senandung di Atas Awan dan Tanah Air Beta
(2010), Ari masih setia untuk mengangkat kehidupan anak-anak dari
daerah terpencil sebagai fokus cerita di filmnya. Sayangnya, saat ini
seluruh sineas perfilman Indonesia juga sepertinya sedang keranjingan
untuk menghasilkan film-film bertema sama. Jangan salah tanggap, adalah
sebuah hal yang sangat terpuji untuk mencari berbagai sisi lain dari
banyak daerah Indonesia untuk ditampilkan dalam film Indonesia. Hanya
saja, akhir-akhir ini para sineas Indonesia sepertinya telah kehabisan
akal mengenai bagaimana untuk menampilkan tema tersebut ke hadapan
penonton Indonesia. Akhirnya, seluruh film yang mengeksplorasi wilayah
dan bakat dari daerah terpencil di Indonesia tersebut berakhir dengan
pengisahan yang monoton. Hal yang turut dialaami oleh Ari Sihasale dalam
Serdadu Kumbang.
Dalam Serdadu Kumbang, penonton
Indonesia kali ini diajak ke wilayah Sumbawa, Nusa Tenggara Barat dan
menyimak sisi keseharian dari kehidupan penduduk daerah tersebut. Tokoh
utama dalam film ini adalah Amek (Yudi Miftahudin), seorang anak
laki-laki yang terlahir dengan sumbing pada bibirnya dan tinggal bersama
ibunya, Siti (Titi Sjuman), dan kakaknya, Minun (Monica Sayangbati).
Ayahnya sendiri, Zakaria (Asrul Dahlan), semenjak lama telah
meninggalkan keluarga ini karena menjadi seorang tenaga kerja di negara
Malaysia. Walau hidup dengan cacat fisik yang ia miliki serta kondisi
keuangan keluarga yang terbatas, Amek adalah sesosok anak yang ceria. Ia
bahkan seringkali menyulitkan ibunya akibat tingkah lakunya yang jahil,
malas belajar dan lebih sering berkhayal untuk mengikuti jejak Najwa
Shihab untuk menjadi seorang pembawa acara berita.
Cerita kemudian berfokus pada pendidikan
yang didapatkan Amek di sekolahnya. Secara akademis, Amek bukanlah
sesosok yang cemerlang. Tahun sebelumnya, Amek sempat dinyatakan tidak
lulus ketika mengikuti Ujian Nasional. Hal ini yang membuat ibu, kakak
dan gurunya, Imbok (Ririn Ekawati), terus menerus memompa semangat
belajar Amek. Di sekolah Amek sendiri, para jajaran guru telah bertekad
untuk tahun ini dapat meluluskan seluruh siswanya. Hal ini dilakukan
dengan cara penegakan disiplin belajar dan tingkah laku di kehidupan
sehari-hari mereka. Suatu hal yang kadang justru menjadi sebuah momok
tersendiri bagi para siswa dan siswi di sekolah tersebut untuk dapat
belajar dengan tenang.
Me-le-lah-kan. Itu mungkin adalah kata
yang cukup tepat untuk menggambarkan film yang berdurasi 105 menit ini.
Tema dan rangkaian penceritaan yang ingin ditampilkan oleh Ari Sihasale
di film ini harus diakui sama sekali tidak menawarkan sesuatu yang baru.
Ini yang membuat Serdadu Kumbang terasa kaku, monoton dan begitu mudah ditebak. Naskah cerita karya Jeremias Nyangoen (Sang Dewi,
2007) juga terlihat seperti tidak tahu untuk meletakkan fokus utama
ceritanya. Konflik demi konflik secara konstan terus dihadirkan tanpa
memberikan kesempatan bagi penonton untuk dapat mencerna satu demi
persatu deretan konflik tersebut. Rentetan konflik yang secara
bertubi-tubi dihadapkan pada penonton inilah yang membuat Serdadu Kumbang
kemudian seperti terlalu asyik bercerita tanpa mampu membuat para
penontonnya merasakan ikatan emosional pada kisah maupun karakter yang
sedang mereka saksikan.
Walau menyelimuti jalan ceritanya dengan begitu banyak konflik dan permasalahan, Serdadu Kumbang
sepertinya memiliki misi tertentu dalam penyampaian kisah ceritanya:
melakukan kritik terhadap bentuk sistem pendidikan di Indonesia. Ari
Sihasale dan naskah cerita yang dituliskan oleh Jeremias terlihat begitu
berusaha untuk menampilkan berbagai bentuk ketidakadilan yang selama
ini sering didapati oleh para murid-murid sekolah di dalam ruang kelas
mereka, mulai dari berbagai bentuk tindak kekerasan yang dilakukan atas
dasar penegakan disiplin dan tingkah laku oleh guru-guru mereka hingga
tindak ketidakadilan yang saat ini mungkin dianggap sebagai momok
terbesar bagi para murid-murid di seluruh Indonesia: Ujian Nasional.
Sebuah niat yang sangat mulia, tentu saja. Namun Serdadu Kumbang
menampilkannya secara sepihak dengan tanpa keinginan untuk melihat
sisi-sisi positif dari hal-hal yang mereka kritik tersebut. Lihat saja
bagaimana film ini menampilkan sosok UN seperti sebuah akhir kehidupan
yang harus dijalani setiap murid sekolah. Memang benar, keberadaan UN
dan berbagai aturannya sendiri masih sering menjadi tanda tanya di
kalangan masyaraakat Indonesia. Namun Serdadu Kumbang juga terlihat seperti menggampangkan kasus dan hanya ingin mengatakan pelaksanaan UN adalah sebuah keputusan buruk. Serdadu Kumbang tidak
melihat sebuah kepentingan bahwa UN dilakukan adalah sebagai usaha
pemerintah untuk menyamaratakan standar pendidikan di setiap daerah di
Indonesia. UN juga dilakukan sebagai motivasi bagi para murid untuk
tetap terus belajar. Namun tidak. UN dalam film ini dihadirkan hanya
dari satu sisi: sebagai sebuah momok yang seharusnya tidak pernah
dilaksanakan. Sebagai sebuah teror yang secerdas apapun seorang murid,
belum tentu dapat melaluinya. Sebagai sebuah ketidakadilan yang menindas
masyarakat Indonesia. Tidak masalah jika Serdadu Kumbang ingin menampilkan UN sebagai sebuah mimpi buruk. Namun dengan cara penyampaiannya yang kelewat monoton dan berlebihan, Serdadu Kumbang
justru terlihat sebagai provokasi murahan berat sebelah yang tak mampu
benar-benar menjelaskan apa keburukan dari UN tersebut kecuali doktrin
kecil bahwa UN adalah buruk.
Penyampaian deretan konflik yang disajikan Serdadu Kumbang
juga terkesan mengasingkan para penonton muda yang awalnya menjadi
target utama penonton film ini. Bagian awal film, yang masih berkisah
mengenai kehidupan karakter Amek, keluarga dan persahabatannya mungkin
masih akan mampu memberikan hiburan bagi para penonton muda. Namun,
dengan terlalu banyaknya pesan-pesan yang ingin disampaikan film ini, Serdadu Kumbang
harus diakui akan berjalan begitu membosankan bagi para penonton muda
tadi mengingat topik pembicaraan film telah berubah menjadi kritikan
terhadap sistem pendidikan yang dapat dipastikan sangat jauh dari
jangkauan pemikiran penonton anak-anak saat ini.
Dari sisi teknis dan departemen akting, Serdadu Kumbang
juga tidak menawarkan sesuatu yang istimewa. Para aktor dan aktris
profesional yang tampil di film ini mampu menampilkan permaianan terbaik
mereka. Sayangnya, kebanyakan dari aktor dan aktris tersebut memiliki
peran yang snagaat terbatas. Posisi mereka kebanyakan digantikan oleh
aktor dan aktris cilik yang berasal dari daerah setempat. Walau
terkadang masih terlihat kaku, namun aktor dan aktris cilik tersebut
cukup mampu membawakan peran mereka dengan baik. Yang cukup standout
adalah tata musik karya Aksjan Sjuman dan Titi Sjuman. Iringan musik
yang menghiasi beberapa adegan di film ini sangat mampu meningkatkan
aliran emosi cerita kepada para penontonnya.
Sama sekali tidak ada sesuatu yang baru
yang dapat ditawarkan Ari Sihasale dalam film yang menjadi kali ketiga
ia duduk di kursi sutradara ini. Dengan berbagai kelemahan yang terdapat
pada naskah cerita film ini, tidak dapat disangkal bahwa Serdadu Kumbang
terlihat hadir sebagai sebuah film klise yang lagi-lagi mengangkat
mengenai kehidupan para anak-anak yang berasal dari daerah terpencil di
Indonesia. Naskah cerita yang menawarkan begitu banyak lapisan
permasalahan dieksekusi dengan lemah oleh Ari Sihasale sehingga menjadi
begitu monoton, cenderung membosankan dan dengan ending yang
kurang begitu menarik. Durasi yang terlalu panjang serta tema dari jalan
cerita yang sukar dimengerti oleh kalangan penonton muda kemungkinan
besar akan membuat Serdadu Kumbang menjadi sulit untuk dicerna bagi mereka. Akhirnya, Serdadu Kumbang
justru berakhir sebagai sebuah film datar dan tidak memberikan kesan
apa-apa bagi para penontonnya selain perasaan lelah akibat jalan cerita
yang terlalu klise untuk disaksikan.
Sumber : Review: Serdadu Kumbang (2011)
Film Serdadu Kumbang
0 komentar:
Posting Komentar