Setelah pembaca disuguhi
kisah dari buku Tere Liye yang menggugah jiwa; Hafalan Surat Delisa dan
Moga Bunda disayang Allah, kini Tere Liye mengajak pembaca untuk
menyelami indahnya Islam dari berbagai sisi yang berbeda, dari
kedalaman hati, dari ketulusan kasih sayang dan pengorbanan yang tak
kenal lelah.
Dalam
membaca buku Bidadari-Bidadari Surga, pembaca diajak untuk mengikuti
alur maju mundur yang menarik. Bahkan, halaman awal buku ini adalah
kejadian-kejadian di akhir cerita. Gaya bahasa Tere Liye yang sangat
indah dan dengan kedalaman ilmunya membuat pembaca menyelami keindahan
hati seorang Laisa, gadis yang secara fisik jauh dari sempurna, namun
memiliki hati seindah mutiara yang tersimpan baik. Kejadian-kejadian
mengharukan mewarnai penggalan-penggalan episode masa lalu Laisa dan
keempat adiknya.
Berawal
dari sakit kanker paru-paru stadium 4 yang diderita Laisa, dan
menjelang sakaratul mautnya, tersibak kisah yang mengharukan dari
semuanya. Dalam keadaan sakit parah itu Laisa tetap tidak ingin
merepotkan keempat adiknya Dalimunte, Wibisana, Ikanuri dan Yashinta.
Sampailah waktu-waktu akhirnya tiba, Laisa mengijinkan ibunya, Mak
Lainuri untuk mengirimkan sms pertama dan terakhir untuk memanggil
keempat adik-adik Laisa.
Dalimunte,
seorang professor hebat dengan hasil penelitiannya yang bernafaskan
Islam. Dikisahkan dalam penelitiannya, dia membuktikan bahwa mukjizat
nabi Muhammad mebelah bulan bukanlah kiasan, namun benar adanya bahwa
bulan memang terbelah kemudian disatukan kembali. Hari itu, dalam
Simposium Fisika penelitiannya, dia malah menceritakan terjadinya Badai
Elektromagnetik menjelang Kiamat. Badai itulah yang diperkirakan akan
membuat seluruh peralatan elektronik lumpuh. Namun saat itulah sms
tersebut sampai kepadanya.
Lain
halnya Ikanuri dan Wibisana, mereka baru tiba di bandara Italia untuk
pembicaraan bisnis otomotif yang mereka tekuni berkaitan dengan
modifikasi mobil balap. Tepat saat landing, dan hp dinyalakan, sms
tersebut sampai…
Adik
bungsu mereka seorang pecinta alam, tengah berada di puncak Semeru
lengkap dengan gadget canggihnya untuk menangkap gambar-gambar cantik
peregrine di dekat kawah. Ketika ada suatu moment yang sangat cantik
untuk diabadikan dengan kameranya, tiba-tiba hpnya berbunyi mengantarkan
sms terakhir.
Perjalanan
mereka berempat diwarnai ketergesa-gesaan dan bayangan kenangan bersama
Kak Laisa yang silih berganti berkelebat dalam memori mereka.
Dalimunte yang sejak kecil cerdas, belajar cara berpendapat di depan
umum dari Kak Laisa, Yashinta belajar tentang alam dari Ka Laisa,
Ikanuri dan Wibisana dengan kisah bandelnya belajar tentang pengorbanan
dari Kak Laisa. Seorang yang diceritakan oleh Tere liye sebagai kakak
sulung dengan perawakan gemuk tapi gempal, kulit hitam, pendek, gigi
tonggos dan rambut gimbal.
Kak
Laisa memberikan teladan untuk tidak menangis dan mengeluh di hadapan
adik-adiknya. Bahkan dengan besar hati dia merelakan dilangkahi ketiga
adiknya, padahal dalam adat mereka dilangkahi itu bukan hal yang baik.
Ka
Laisa tidak pernah datang terlambat untuk adiknya. Setelah mendapat
hinaan “bukan kakak kami” dari Ikanuri, ternyata dialah yang justru
berlari menembus gelapnya hutan Kendeng di tengah malam menyelamatkan
Ikanuri dan Wibisana yang hendak dimakan harimau hutan.
Ka Laisa
tidak minder, tidak malu dengan keadaan dirinya, malah dia menyuruh
Yashinta terbiasa dengan hinaan orang yang mengira Laisa adalah
pembantunya karena mereka memang berbeda, Yashinta yang sangat cantik
putih semampai, dengan Laisa yang hitam pendek.
Bulir-bulir
air mata pembaca akan diajak keluar menyusuri pipi, saat menelusuri
perjuangan dan pengorbanan seorang Laisa. Dia yang mengorbankan
dirinya untuk tidak sekolah, mengorbankan dirinya untuk terpanggang
dibawah terik matahari ladang strawbery mereka demi sekolah
adik-adiknya.
Menyusuri
perasaan lembut Laisa yang harus terkoyak lagi dan lagi saat usaha
Dalimunte untuk mencarikannya jodoh gagal dan gagal lagi di tahap yang
sama, tatap muka. Tapi Laisa tetap wanita yang lembut hatinya butuh
pendamping… begitulah yang dipikirkan adik-adiknya, padahal ternyata
kemuliaan hati Laisa memandang bahwa melihat Lembah Lahambay lebih maju
adalah karunia, melhat adik-adiknya berhasil adalah anugrah, bersama
keluarganya yang telah lengkap dan ramai adalah suatu kebahagiaan.. jauh
dari perkiraan adik-adiknya dan orang kebanyakan.
Di
bagian akhir buku ini Tere Liye mengajak pembaca merenungkan kembali
makna kemuliaan wanita, kebahagiaan yang sejati dan bidadari-bidadari
surga yang dijanjikan Allah dalam Al Quran. Kak Laisa, dia seorang
kakak yang sebenar-benarnya tidak memiliki hubungan darah sedikitpun
dengan keluarga itu, begitu tulus mencintai, sesuatu yang tak pernah ia
katakan, tapi Kak Laisa tidak pernah datang terlambat untuk
adik-adiknya…
Ternyata
dia menunggu pernikahan terakhir di keluarga mereka, Yashinta. Kak
Laisa memaksa Yashinta untuk menikah tanpa memikirkan dirinya lagi, dia
tahu bahwa Yashinta urung menikah karena Kak Laisa.
Dan saat ijab kabul pernikahan itulah…..
bagai
parade sejuta kupu-kupu bersayap kaca, menerobos atap rumah, turun dari
langit-langit kamar, lantas mengambang di ranjang mnejemput lembut…..
Dan
sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (QS Al Waqiah:22:).
Pelupuk mata bidari-bidadari itu selalu berkedap-kedip bagaikan sayap
burung yang indah. Mereka baik lagi jelita (QS Arrahman:70).
Bidadari-bidadari surga, seolah-olah telur yang tersimpan dengan baik(QS
Ash-Shaffat:49)
Dikutip dari Epilog buku tersebut:
Wahai,
wanita-wanita yang hingga usia 30,40, atau lebih dari itu, tapi belum
juga menikah (mungkin karena keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak
pernah “terpilih” di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan
tampilan wajah). Yakinilah, wanita-wanita salehah sendiri, namun tetap
mengisi hidupnya dengan indah berbagi, berbuat baik, dan bersyukur.
Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan
kabar baik itu pastilah benar, bidadari surga parasnya cantik luar
biasa.