Judul : Ketika Cinta Bertasbih
Penulis : Habiburrahman El Shirozi
Penerbit : Republika dan Basmala
Cetakan : 1 (Februari 2007)
Tebal : 477 halaman
Penulis : Habiburrahman El Shirozi
Penerbit : Republika dan Basmala
Cetakan : 1 (Februari 2007)
Tebal : 477 halaman
Berbeda dengan karya sebelumnya, terutama Ayat Ayat Cinta, yang
mengeksplorasi kisah seorang mahasiswa yang haus ilmu, novel Ketika
Cinta Bertasbih, mengeksplorasi sosok mahasiswa yang berjiwa
entrepreneur. Jadilah novel ini sebuah novel yang penuh dengan spirit
entrepreneurship.
Jiwa entrepreneneurship seorang Habiburrahman nampak sangat kuat
dan diwujudkan dalam tokoh utama. Perjalanan panjang tokoh utama, yang
penuh dengan lika liku dunia entrepreneur, berhasil di gambarkan Habib
dengan sangat memukau. Seperti karakter karya Habib sebelumnya, di dalam
dialog dan berbagai peristiwa, selalu disisipi dengan ilmu dan pesan
moral yang membangun jiwa. Kelihaian Habib dalam menyisipkan ilmu
sebagai dakwahnya menjadikan pesan tersebut amat mudah diterima pembaca,
tanpa merasa digurui.
Tersebutlah Azzam, tokoh utama, adalah
mahasiswa Indonesia di Al Azhar. Ia adalah sosok anak Indonesia yang
pintar dan bersahaja, namun lahir dari keluarga pas pasan. Jadi sangat
khas indonesia. Kecerdasan Azzam terbukti tatkala di tahun pertama dia
memperoleh predikat jayyid jiddan (baik sekali).
Namun ditahun kedua, ayahnya di Indonesia meninggal dunia.
Sepeninggal ayahnya, ibunya sering sakit sakitan. Padahal di Indonesia,
ketiga adik perempuannya belum bisa diharapkan untuk membantu ibunya
karena baru beranjak remaja. Yang harus membantu ibu dan adik adiknya
adalah dia. Sebab dia adalah sulung di keluarganya. Azzam sangat
menyadari posisinya itu. Maka sejak saat itulah ia mengalihkan
konsentrasinya dari belajar ke bekerja. Jadilah ia di Cairo untuk
bekerja sambil belajar.
Pekerjaan Azzam untuk membantu kelurganya di Indonesia adalah
berjualan tempe dan bakso. Berhubung dia sangat berkonsentarasi dengan
pekerjaannya,prestasi akademiknya menurun. Beberapa kali dia tidak naik
tingkat. Walaupun akhirnya dia bisa lulus S1 setelah belajar selama
sembilan tahun, dengan predikat yang tidak terlalu mengecewakan, jayyid.
Namun prestasi Azzam yang nyata adalah kesuksesannya dalam
mengantarkan adik adiknya menggapai cita cita. Berkat bantuan biaya
hidup dan motivasi dari Azzam, adiknya berhasil “menjadi orang”. Husna
berhasil menjadi psikolog dan penulis terbaik nasional. Lia lulus PGSD,
dan menjadi guru favorit di SDIT Al Ksutsar Solo. Sementara adik
bungsunya,Sarah, hampir khatam menghafalkan Al Quran di Pesantren Al
Quran di Kudus.
Isi surat antara Azzam dengan adiknya juga mencerminkan betapa besar
kasih sayang dan pengorbanan seorang kakak kepada adik adiknya.
Kemampuan Azzam dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam kondisi
yang serba sulit inilah, yang menjadikan novel ini begitu menarik.
Melalui tokoh utama, Azzam, Habib berhasil meniupkan roh atau jiwa
entrepreneurship sejati. Ruh entrepreneurship sejati ini diantaranya:
kreatif menciptakan dan mengemas ide baru untuk kemakmuran diri dan
orang orang yang dicintainya( kreatif inovatif), berani mengambil
resiko, menyukai tantangan, memiliki daya tahan hidup yang luar biasa,
pantang menyerah, selalu ingin menyuguhkan yang terbaik, serta memiliki
visi yang jauh kedepan.
Kisah Azzam sebagai tokoh utama tentu di bumbui dengan kisah tokoh
tokoh lainnya yang tidak kalah seru. Kisah cinta segitiga khas mahasiswa
dalam novel ini menjadikan alur cerita menjadi sedemikian romantis. Mau
tidak mau, pembaca harus rela diaduk aduk perasaannya, mulai dari
gemas, sedih, dan gembira. Yang jelas novel ini kaya warna. Saya sering
tersenyum sendiri saat membayangkan Habib “memain-mainkan” perasaan
pembaca dengan goresan penanya.
Ketulusan dan cinta. Itulah salah satu kekuatan karya Habib. Dengan
ketulusan dan cinta yang apa adanya, disertai dengan keyakinan kuat
dalam dirinya, Habib merajut kata demi kata, menjadi sedemikian indah,
menarik,menyentuh hati, dan membawa pembaca seolah olah merasakan itu
sebagai sesuatu yang nyata.
Habib berhasil menciptakan tokoh rekaan yang “selalu menjaga
kesucian”. Seperti Fahri (Ayat Ayat Cinta), Zahid ( Di Atas Sajadah
Cinta), Raihana (Pudarnya Pesona Cleopatra), Zahrana ( dalam Mihrab
Cinta), dan Azzam (Ketika Cinta Bertasbih).
Sesuai dengan misinya untuk berdakwah melalui pena, Habib sengaja
memberikan alternatif bacaan positif buat masyarakat Indonesia. Tentu
saja fenomena “tokoh suci” rekaannya tersebut, dipandang aneh dan bahkan
ada yang mencibirkan. Maklumlah, selama ini masyarakat Indonesia memang
banyak dijejali dengan cerita yang tidak mendidik. Sehingga ketika
melihat tokoh “malaikat” dalam karya Habib, mereka melihatnya sebagai
sesuatu yang terlalu dilebih lebihkan. Padahal keunggulan dan ke”alim”an
tokoh yang diciptakan Habib sebetulnya masih dalam taraf biasa saja.
Seandainya masyarakat sudah biasa disuguhi dengan karakter positif yang
di perankan para tokoh tersebut.
Di lihat dari sudut pandang sastra, bahasa yang digunakan Habib
memang biasa biasa saja. Bahasa yang dia pakai tidak seperti bahasa
karya sastra lainnya yang cenderung puitis dan kadang sulit dipahami.
Justru disitulah kekuatan karya Habib. Semua kalangan bisa menikmatinya
tanpa harus berpikir keras untuk memahami rajutan kata yang
dirangkainya.
Saya berharap Habib konsisten menampilkan tokoh “malaikat” dalam
setiap karyanya, sehingga masyarakat akan semakin terbiasa dan menerima
itu sebagai sebuah keniscayaan.
Disinilah dakwah dan tantangan Habib yang sesungguhnya.
Disinilah dakwah dan tantangan Habib yang sesungguhnya.
0 komentar:
Posting Komentar