Selama ini, buku fantasi Indonesia selalu sukses mengecewakan saya.
Sebagian kekecewaan itu, tentu saja, adalah salah saya yang mengharapkan
lahirnya Tolkien baru dari genre yang baru tumbuh kemarin sore di
Indonesia ini. Tapi, pendapat ini, sedikit berubah setelah membaca novel
yang satu ini. Mungkin masih ada masa depan buat genre fantasi
Indonesia.
Sang Pemindai, eh Penandai dibuka oleh patah hatinya sang tokoh utama,
Jim. Ia jatuh hati pada putri dari negeri antah berantah bernama Nayla.
Tentu saja penyatuan hati keduanya tidak akan mungkin lantaran status
mereka yang berbeda jauh. Daripada harus menikah dengan orang lain,
Nayla akhirnya memutuskan untuk bunuh diri.
Jim yang melankolis juga ingin bunuh diri, tapi kemudian membatalkan
niatnya karena takut mati. Ia kemudian bertemu dengan sosok kakek tua
yang menjanjikan satu dongeng untuk Jim. Maka, dimulailah petualangan
Jim bersama Armada Kota Terapung yang dipimpin oleh Laksamana Ramirez.
Ide tentang Armada Kota Terapung ini, saya yakin, berasal dari Laksamana
Cheng Ho, Laksamana Cina abad ke 14 (?) yang kapalnya begitu besar
hingga digambarkan oleh National Geographic sebagai kota terapung.
Kebetulan juga, Cheng Ho memiliki tubuh tinggi besar hingga 2 meter.
Tentu saja, tidak ada yang salah dengan itu.
Secara keseluruhan, Sang Penandai adalah novel yang cukup menarik.
Bahasanya cukup manis dan tidak terlalu cengeng. Ini adalah sebuah
contoh bagaimana ide fantasi yang sederhana, dieksekusi dengan cara yang
sederhana juga.
Apakah buku ini disarankan? Hmm, begini saja. Kalau kamu suka plot dan
karakter yang kompleks seperti saya, buku ini bukan untuk kamu. Kamu
nggak akan menemukan karakter ajaib atau twisted plot di sini.
Satu-satunya kejutan ada di akhir cerita, tapi itu bukanlah sesuatu yang
menyentak. Tapi kalau kamu ingin mencari fantasi yang sederhana, penuh
dengan buaian romantis, kamu akan menyukai buku ini.
Sumber: Resensi Sang Penandai
0 komentar:
Posting Komentar