Judul : Arus Balik
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Hasta Mitra
Tahun Terbit: 2002
Format : pdf
Review:
Sebagai penulis yang pada tempat pertamanya adalah novelis, Pram
sengaja memilih menuangkannya hasil penelitiannya dalam bentuk novel
daripada suatu karya ilmiah. Bukan tidak ada maksud kawan, tapi hal
inilah yang justru merupakan keistimewaan dari seorang Pramoedya Ananta
Toer dibanding novelis-novelis lain. Pram ingin mempresentasikan pesan
yang dikandung sejarah bagi semua segmen masyarakat, mulai dari pembaca
paling awam sampai pada lingkungan yang paling terpelajar. Lingkaran
pembaca seluas-luasnya itulah yag ingin dia jangkau, bukan hanya
sejumput intelektual dari lingkaran masyarakat ilmiah, melainkan semua
lapisan masyarakat diharapkan dapat mencerna dan memahaminya.
Seperti halnya “Arus Balik” yang sebenarnya adalah suatu bagian dari
proyek besar studi sejarah nusantara yang dilakukan Pram sebelum dia
ditahan pada tahun 1965, dia tuangkan dalam sebuah novel sejarah dan
bukan thesis sejarah. berisi tentang sebuah epos pasca kejayaan
nusantara pada awal abad 16, pram ingin kita mencerna dan memahami
kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh pendahulu bangsa ini, agar
dapat dapat menjadi cerminan dan pelajaran bagi generasi berikutnya.
Dalam “Novel Sejarah” ini Pramoedya ingin menyuguhkan sebuah pesan moral kepada seluruh masyarakat Indonesia, bahwa nusantara
kita pernah berjaya. Pramoedya bukannya menangisi kebesaran masa lalu,
tidak pula merindukan kejayaan purbakala, tetapi dia bernostalgia dengan
masa depan yang cerah. Baginya sejarah adalah cermin paling jernih,
referensi terpercaya untuk sebuah perubahan guna membangun masa depan
yang lebih baik. Disinilah kita bisa melihat letak kecintaan seorang
Pramoedya pada rakyat dan tumpah darahnya.
Sedemikian banyak pelajaran-pelajaran dipersembahkan oleh sejarah dan
diteruskan oleh Pramoedya kepada masyarakat luas lewat keunggulan
penanya. Dia menulis betapa kekuatan dan kesatuan maritim nusantara
pernah memecah ombak samudra damai ke utara, tetapi kemudian arus
membalik. Arus raksasa menggelombang dari utara menghempas nusantara
mundur ke selatan, kepedalaman yang bahkan lebih jauh lagi mundur sampai
ke desa-desa di kaki pegunungan, sehingga yang tertinggal hanyalah
negara kota kecil-kecil di pesisir utara Jawa.
Mundur dan terus mundur sampai ke pedalaman bukan hanya secara
geografis semata, namun terus mundur pula ke pedalaman nurani dan
kenalurian yang mengganti nalar rasional. Khayal dan kenyataan
bersimpangan tanpa batas, akhirnya lahirlah mistik Jawa yang menjamur
dan membudaya pada perilaku manusianya. Dengan demikian arus balik ini
juga mengkisahkan tentang manusia nusantara, manusia jawa, kultur jawa,
kisah tentang “the javaneese mind” dengan segala perwatakannya (Ratu
Lautan Kidul, dan segala peri parahiyangan yang melingkupinya),
kebesarannya, kearifannya, kemunafikannya, dan eufemismenya.
Sebuah interprestasi tantang sejarah nusantara yang sangat jitu dan
relevan hingga saat ini. Wawasan kelautannya yang berwatak luas dan
menembus kedangkalan dan kekerdilan; sebagaimana juga persatuan dan
kesatuan Indonesia dilahirkan dari gelora kebaharian pada masa majapahit
yang kemudian digantikan oleh kawasan-kawasan pedalaman agraris
mengungkung wawasan berpikir , cenderung membentuk watak kerdil dan
kemunafikan akibat tiadanya sentuhan gelombang lautan. Karena itulah
sampai sekarang Indonesia tidak henti-hentinya dirundung masalah
integrasi dan tersendat perkembangannya disebabkan sebagai kekuatan
bahari sejak merdeka justru selalu diatur oleh kekuasaan angkatan darat
dengan watak khasnya yang bukan saja tak kenal, malah meminggirkan
wawasan kebaharian.
Sejak kecil kita telah banyak diceritakan epos-epos tentang Majapahit
dengan segala kebesarannya. Dalam diktat-diktat sekolah disebutkan
bahwa Majapahit runtuh pada abad 15 dikarenakan serangan dari kerajaan A
dan kerajaan B dan seterusnya..!! akan tetapi tiada terkandung sebuah
pesan moral ataupun sebuah keterkaitan pola fluktuatif kejayaan dari
kerajaan-kerajaan yang menggantikan kekuasaannya dan lain sebagainya,
yang paling tidak bisa dijadikan kajian analisis untuk menambah wawasan
tentang problematika bangsa beserta solusinya. Seiring dengan hal itu,
setelah membaca novel ini sebuah tamparan serasa menghampiri kita. Bahwa
otak kita telah begitu bebal dengan segala kemunduran ini. Dan semoga
tamparan Pramoedya dalam novel sejarah ini dapat membalik lagi arus
kemunduran menjadi kemajuan seperti halnya watak kebaharian yang
berwawasan luas dan rasional serta dapat mengikis habis segala
permasalahan yang merundung Indonesia kita tercinta. (Iwan Soebakree)*
Selamat Membaca…!!
*Wakil Ketua Perpustakaan Gresik dan masih aktif sebagai pengajar di salah satu lembaga pendidikan swasta di Surabaya
0 komentar:
Posting Komentar