Judul : Gajah Mada #2: Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara
Penulis : Langit Kresna Hariadi
Penerbit : Tiga Serangkai
Tahun terbit : 2006
No. ISBN : 9793301902
Jumlah Halaman : 508
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi(L x P) : 140x210mm
SINOPSIS BUKU
“Bagaskara Manjer Kawuryan? Siapakah orang yang mencoba bermain-main
denganku menggunakan nama yang semestinya terkubur bersama kematian X?”
Gajah Mada meletupkan rasa penasarannya dalam hati. Sembilan tahun sejak
pemberontakan Ra Kuti, baru diketahui orang yang berada di balik nama
itu adalah X. Setelah X mati, kini tiba-tiba ada orang lain yang
menggunakan nama itu. Pemahaman terhadap kata sandi Bagaskara Manjer
Kawuryan sangat terbatas dan nyaris terkubur oleh waktu yang telah
bergerak sembilan tahun lamanya. Namun, ternyata di luar sana, entah
siapa, setidaknya ada orang yang tahu makna kata sandi itu. Di balik
penampilannya yang aneh, menunggang kuda putih, mengenakan jubah
berwarna putih, dan menyembunyikan wajah di balik topeng, orang itu
mengetahui banyak hal, mengetahui adanya kata sandi Bagaskara Manjer
Kawuryan. *** “Buku ini punya kekuatan yang sangat menjebak, menyajikan
permintaan yang mengejut, Saya berpendapat semua kalangan dari berbagai
disiplin ilmu layak membacanya.” – Prof. Dr. Mulhoto, M.Pd. Guru Besar
Sejarah Indonesia UNS
Resensi:
Perseteruan Dua Kekuatan di Balik Takhta yang Kosong
oleh Bahtiar HS
Jayanegara mangkat bukan dalam peperangan dengan pasukan segelar-sepapan,
melainkan pada cicipan ramuan obat yang ternyata berisi racun di atas
pembaringan ketika ia sedang sakit biasa. Ra Tanca, sang Pembunuh raja
yang kebal segala bisa ular yang meracik obat Jayanegara itu pun tewas
bersarung keris Gajahmada di ulu hati. Dan terkuaklah siapa “Bagaskara
Manjer Kawuryan” setelah lenyap terkubur bumi sejak Ra Kuti madeg kraman
sembilan tahun yang silam.
Namun, sang Misterius itu sudah mati membawa serta segala rahasianya.
Dan kini Majapahit dihadapkan pada persoalan yang pelik. Jayanegara
belum menikah dan karenanya tak punya anak. Apalagi anak laki-laki.
Kekuasaan terletak pada dua orang Sekar Kedaton kakak beradik:
Sri Gitarja dan Dyah Wiyat. Keduanya adalah putri biksuni Gayatri, istri
keempat Raden Wijaya, raja Majapahit pertama.
Persoalannya bukan siapa dari keduanya yang bakal menggantikan raja
Majapahit, melainkan justru karena keduanya sudah memiliki calon suami.
Raden Cakradara, calon suami Gitarja, dan Raden Kudamerta, calon suami
Dyah Wiyat. Di belakang masing-masing calon suami sekar kedaton itu
berdiri pihak-pihak yang ingin menguasai kerajaan. Dengan segala cara,
tentu. Dan pernikahan dengan sekar kedaton, bagaimanapun, adalah pintu
gerbangnya.
Itulah setidaknya fenomena yang berhasil diendus telik-sandi
Bhayangkara. Itulah yang kemudian membuat Gajahmada dengan cukup berani
meminta kepada keempat ibu ratu, istri-istri Raden Wijaya, untuk tidak
dulu mengangkat salah satu dari sekar kedaton menggantikan Jayanegara.
Pemerintahan sementara diemban oleh keempat ibu ratu, yang kemudian
memilih biksuni Gayatri untuk memimpin sementara Majapahit.
Gajahmada ingin memastikan bahwa ancaman bahaya di belakang Cakradara
dan Kudamerta benar-benar sudah dibersihkan.
Betapa tidak? Sesaat setelah Jayanegara mangkat dan belum sempat
dikuburkan, beberapa orang terbunuh dalam semalam. Panji Wiradapa,
Lembang Laut, Klabang Gendis, Kinasthen, Arya Surajaya. Mereka semua
adalah prajurit pengawal dan orang dekat Raden Kudamerta. Bahkan Raden
Kudamerta, pada acara pengabuan Jayanegara sempat diserang seseorang
dengan senjata hingga mengenai dadanya. Untungnya ia tak terluka parah
hingga harus menjemput gerbang kematian.
Apakah Cakradara ada di balik pembunuhan berantai ini?
Di sinilah persoalan kemudian ditelusuri Gajahmada dan para anggota
Bhayangkara di bawah senopati Gajah Enggon. Gajahmada bahkan harus
memeriksa Kudamerta, juga Cakradara. Terkuaklah banyak misteri dan fakta
mencengangkan yang selama ini terpendam. Tentang Jayanegara yang pernah
mengganggu Nyai Tanca. Tentang Kudamerta yang ternyata sudah beristri
sebelum menikahi Dyah Wiyat, meski wanita itu mendadak hilang berikut
bayinya di gendongan pada malam pernikahan Kudamerta dengan sekar
kedaton. Tentang terdapatnya lambang buah maja terbelit ular pada setiap
mayat mereka yang terbunuh. Tentang ditemukannya lambang aneh itu oleh
prajurit Bhayangkara di rumah Nyai Tanca; bahkan wanita itu mengaku
sebagai yang memiliki ide penciptaan lambang itu. Tentang adanya gerakan
mencurigakan di Karang Watu yang tersembunyi: latihan perang pasukan
segelar-sepapan. Tentang pengikut Ramapati yang menghilang ketika
pejabat culas itu dieksekusi Jayanegara beberapa tahun lalu, yang
disinyalir berada di balik semua peristiwa ini. Tentang kematian
Pakering Suramurda, paman Cakradara, yang juga memiliki cita-cita untuk
menjadikan Cakradara menjadi raja menguasai Majapahit.
Segenap misteri itu harus diungkap satu demi satu oleh Gajahmada dan
para prajuritnya. Dan pada akhirnya, terkuaklah dalang segala peristiwa
itu. Bahwa Panji Rukmamurti yang ternyata pemimpin pasukan pemberontak
di Karang Watu tak lain adalah Nyai Tanca. Bahwa benar, ternyata Brama
Rahbumi, pengikut setia Ramapati, berada di balik semua ontran-ontran
ini. Ternyata orang ini tak lain adalah Panji Wiradapa alias Rangsang
Kumuda, yang melenyapkan dirinya sendiri untuk meninggalkan kesan alibi
mengarah padanya. Semua yang dilakukan Brama Rahbumi hanyalah untuk
mendepak Cakradara dari kemungkinan menjadi raja. Dia ingin mendudukkan
Kudamerta di atas singgasana, yang diyakininya bisa membawa dirinya
serta kembali ke tampuk kekuasaan menjadi Mapatih.
***
Lagi-lagi Pak Langit membalut cerita ini dengan misteri yang kemudian
diungkap di akhir cerita. Dan bagaimanapun, saat ketika dampar
Majapahir lowong dan tak seorang laki-laki pun layak menjadi raja, dan
di sisi lain, ada dua orang sekar kedaton yang layak dinaikkan sebagai
raja, menjadi seting cerita ontran-ontran yang sangat tepat untuk
dimainkan.
Di sinilah Pak Langit bermain. Satu persatu misteri diungkap. Namun,
tak seperti pada Gajahmada yang pertama, penguakan fakta dan misteri
pada Gajahmada edisi Bergelut dalam Kemelut ini serasa begitu “gampang”.
Bagaimana seorang Panji Rukmamurti begitu saja menyerah ketika
ditangkap. Bagaimana semua fakta dipertautkan di akhir cerita ketika
semua tersangka berhasil ditangkap dan diadili. Seperti mengumpulkan
semua wewadi dalam satu panci. Begitu mudah untuk dikait-kaitkan.
Itu perasaan saya, setidaknya jika dibandingkan dengan Gajahmada
edisi sebelumnya. Namun, tentu saja hal itu tak mengurani kenikmatan
membaca novel Gajahmada buku ke-2 ini. Apalagi Pak Langit melengkapinya
dengan lanskap istana Majapahit yang cukup membantu, ditambah dengan
berbagai catatan kaki – yang terus terang saya kurang nyaman — yang di
satu sisi mungkin mengganggu, tetapi di sisi lain juga membantu pembaca.
Gaya bahasa yang digunakan juga lebih “tenang”, tidak banyak perulangan
tidak perlu sebagaimana di buku sebelumnya.
Yang agak mengganggu mungkin adalah adanya salah ketik antara
menyebut Cakradara keliru Kudamerta, atau sebaliknya. Tetapi asal
pembaca mengikuti dengan cermat, kesalahan itu tak perlu mengusik
keasyikan membaca. Dan tak seperti pada saat mengungsikan Jayanegara ke
Bedander yang penuh petualangan, pada buku ke-2 ini, kesaktian dan keprigelan Gajahmada dalam olah kanuragan tidak kelihatan atau diperlihatkan. Dia tak berkelahi sama sekali!
Peran yang paling kelihatan bagi tokoh ini adalah ketika ia bisa
mempengaruhi proses peralihan kekuasaan dari Jayanegara kepada
penggantinya. Bahwa ia bisa menguasai Bhayangkara sedemikian rupa meski
ia sudah menjadi Patih di Kahuripan dan Daha. Bahwa ia lebih menonjol
dibandingkan dengan Mapatih Majapahit Arya Tadah. Mungkin penulis
sengaja membuat demikian dalam rangka menjadi pijakan bagi buku-buku
berikutnya; karena tanggung jawab ke depan Gajahmada akan semakin berat
disamping ia akan menjadi tokoh paling berpengaruh bagi Majapahit.
Anyway, selamat dan salut lagi buat Pak Langit. Dan betapa gembiranya
saya ketika kemarin bisa bertemu langsung dengan penulis murah senyum
itu. Di balik senyumnya yang ramah ternyata terkandung produktivitas
menulis yang luar biasa. Setidaknya 10 halaman per hari. Satu buku dalam
dua bulan!
***
0 komentar:
Posting Komentar